REVIEW GERAKAN MAHASISWA TAHUN 1998
Menjelang kejatuhan
Soeharto, telah terjadi aksi mahasiswa besar-besaran hampir di seluruh wilayah
Indonesia dengan tuntutan perubahan akan pemerintahan yang demokratis serta
reformasi total. Demonstrasi mahasiswa itu ditangani dengan pola-pola represif,
melalui pembubaran aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, penembakan di luar proses
hukum, maupun tindakan penganiayaan lainnya.
Tragedi terbesar terjadi pada 12 Mei 1998, dimana aparat
melakukan penembakan terhadap 4 orang mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia
Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan Sie. Sementara korban luka
mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Esoknya terjadi
kerusuhan massal yang meluluhlantakkan sendi kehidupan rakyat Indonesia,
khususnya Jakarta. Buntutnya Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada
21 Mei 1998.
Antara 8 – 14 November 1998, kembali terjadi kekerasan
terhadap mahasiswa. Mahasiswa berdemonstrasi untuk menolak sidang istimewa yang
dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis ekonomi
kembali direspon aparat lewat penembakan dengan peluru tajam. Akibatnya 18
orang mahasiswa meninggal, 4 orang diantaranya adalah yaitu Teddy Mardani,
Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi dan BR Norma Irmawan. Sementara korban yang luka-luka
mencapai 109 orang, baik masyarakat maupun mahasiswa.
Rencana
pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya pada September 1999 kembali
mengundang sikap kritis mahasiswa. Aturan yang sedianya akan menggantikan UU
Subversif, karena dianggap bersifat otoriter itu dinilai tak jauh berbeda
dengan UU Subversif itu sendiri. Aparat keamanan kembali melakukan penembakan
kepada mahasiswa, relawan kemanusiaan, tim medis dan masyarakat yang
menimbulkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta, salah satunya adalah Yap Yun
Hap
di bilangan Semanggi Jakarta. Sementara korban luka-luka me ncapai 217 orang.
Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang kerusuhan yang melibatkan
mahasiswa tahun 1998.
Gerakan Mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 adalah
puncak gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pro-demokrasi pada dekade tahun
sembilan puluhan. Gerakan ini menjadi monumental karena dianggap berhasil
memaksa Soeharto berhenti
dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada tangal 21 Mei 1998.
Gerakan ini mendapatkan momentumnya
saat terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997. Namun para analis asing kerap
menyoroti percepatan gerakan pro-demokrasi pasca Kudatuli yang terjadi 27 Juli 1996.
Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang.
Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi
agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan
agenda reformasi mendapat
simpati dan dukungan dari rakyat.
Demonstrasi bertambah gencar
dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan
kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Agenda reformasi yang menjadi
tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa tuntutan, seperti:
- Adili Soeharto dan kroni-kroninya,
- Laksanakan amandemen UUD 1945,
- Penghapusan Dwi Fungsi ABRI,
- Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya,
- Tegakkan supremasi hukum,
- Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
Pendudukan
Gedung DPR/MPR
Gedung wakil rakyat, yaitu Gedung DPR/MPR dan
gedung-gedung DPRD di daerah,
menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia. Seluruh elemen
mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan untuk
menurunkan Soeharto. Organ mahasiswa yang mencuat pada saat itu antara lain
adalah FKSMJ dan Forum Kota karena
mempelopori pendudukan gedung DPR/MPR. Gedung DPR/MPR RI diduduki oleh mahasiswa pada Mei 1998. Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah
peristiwa monumental dalam proses pelengseran Soeharto dari tampuk kekuasaan
Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari
berbagai kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak Soeharto
mundur.
Pada tanggal 21 Mei 1998, setelah
berhari-hari para mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, dan setelah kurang lebih
32 tahun berkuasa, Soeharto mengumumkan berhenti dari jabatan presiden.
Latar Belakang pendudukan gedung
DPR/MPR yaitu setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998, seluruh lapisan masyarakat Indonesia berduka dan marah.
Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di
beberapa kota lainnya pada tanggal 13—14 Mei 1998, yang menimbulkan banyak
korban baik jiwa maupun material.
Semua peristiwa tersebut makin
meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi
kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh kebanyakan kelompok massa
mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi pendudukan
gedung DPR/MPR.
Senin, 18
Mei 1998
Proses pendudukan gedung DPR/MPR RI
dimulai dengan komitmen dari kontingen para ketua lembaga formal kemahasiswaan
Jakarta yang tergabung di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ)
untuk bermalam di gedung DPR/MPR RI sampai pimpinan dewan memastikan
pengunduran diri Soeharto dari kursi kepresidenan RI. Terdiri dari lebih kurang
50 orang ketua lembaga kemahasiswaan, kontingen ini menunjuk Henri Basel (Ketua
Senat Mahasiswa IKIP Jakarta) sebagai koordinator aksi dan Heru Cokro
(Sekretaris Jenderal Badan Perwakilan Mahasiwa UI) sebagai koordinator
lapangan.
Pada sore hari tanggal 18 Mei 1998,
kontingen berhasil menemui pimpinan dewan bersama komponen-komponen aksi lain,
dan mendapatkan pernyataan dari ketua DPR/MPR RI saat itu, Harmoko, yang
menyerukan pengunduran diri Soeharto. Pernyataan ini disambut positif oleh para
anggota kontingen tapi bagaimanapun, ketika komponen-komponen aksi lain
memutuskan untuk sementara pulang, kontigen memutuskan untuk bermalam sampai
Soeharto benar-benar mundur dari kepresidenan sekaligus mempersiapkan
kedatangan massa mahasiswa dari kampus masing-masing keesokan harinya. Menduga
proses aksi dan tuntutan akan berjalan lancar setelah seruan dari Harmoko,
malah terjadi sedikit kepanikan pada para anggota kontingen ketika pada malam
harinya Jenderal Wiranto (Menhankam dan Pangab saat itu) menyatakan bahwa
seruan Harmoko tidak konstitusional. Kepanikan ini makin menjadi-jadi ketika di
saat-saat berikutnya kontingen terus menerus mendapat informasi bahwa gedung
DPR/MPR RI akan diserbu dan dikosongkan tentara. Sempat terjadi perbedaan
pendapat di antara anggota kontingen, antara memutuskan pulang atau tetap
bermalam, walau kemudian komitmen akhir seluruh kontingen adalah tetap
bermalam, apapun yang terjadi.
Selasa, 19
Mei 1998
Mulai pagi, secara bergelombang,
berdatangan ribuan massa mahasiswa dari kampus-kampus yang para ketuanya telah
terlebih dahulu bermalam di gedung DPR/MPR RI di hari sebelumnya. Sampai saat
itu, sebagai koordinator lapangan yang ditunjuk, Heru Cokro bertugas untuk
mengkoordinir seluruh massa yang hadir dari masing-masing kampus agar sesuai
arahan kolektif dari kontingen FKSMJ dan koordinator aksi (Henri Basel).
Tapi dalam prosesnya, ternyata
banyak massa mahasiswa yang berdatangan bukan merupakan konstituen dari FKSMJ.
Massa ini juga menolak beraksi di bawah bendera dan arahan kolektif FKSMJ, yang
akhirnya berujung pada kecurigaan antar kelompok massa, kekacauan koordinasi
dan praktis tidak adanya kerjasama aksi antara satu kelompok dengan kelompok
massa lainnya di lapangan.
Kekacauan pun bertambah parah
bersamaan dengan kedatangan massa dari Pemuda Pancasila (PP) yang dipimpin oleh
Yapto dan Yorrys Raweyai, yang diasumsikan akan menolak usaha penuntutan
pengunduran diri Soeharto. Tidak adanya koordinasi di antara kelompok massa
mahasiswa dan besarnya kecurigaan antar kelompok, nyaris saja mengakibatkan
bentrokan tidak perlu di antara kedua kelompok massa tersebut.
Dalam usaha menghindari konflik,
Heru berhasil menemui Yapto dan kemudian melakukan rapat darurat dengan
koordinator lapangan massa PP, yang akhirnya menyepakati garis batas massa
kelompok PP serta sebuah komitmen untuk menghindari bentrokan. Massa PP tetap
pada garis batas yang ditentukan sampai kepulangan mereka.
Kekacauan luar biasa yang terjadi di
lapangan coba dikelola dengan rapat koordinasi lapangan secara rally (semua
koordinator massa yang teridentifikasi harus hadir setiap 1 jam di tempat yang
ditentukan), sampai akhirnya bisa diselesaikan dengan penyusunan mekanisme aksi
yang unik dimana seluruh kelompok massa (FKSMJ ataupun non FKSMJ) dikelola
dalam struktur operasi aksi tanpa berafiliasi pada kelompok tertentu, dimana
struktur ini kemudian menunjuk Heru Cokro sebagai Koordinator Jenderal. Di lain
sisi, arahan dan kebijakan kolektif para ketua lembaga di FKSMJ tetap akan
diakomodasi lewat Heru, tapi tetap dengan persetujuan anggota struktur operasi
aksi yang baru (yang berasal dari koordinator-koordinator aksi dari
masing-masing kelompok massa).
Menjelang Maghrib, setelah struktur
aksi yang baru berhasil mengontrol instalasi Car Call (satu-satunya alat
komunikasi yang mampu mencapai semua orang di gedung DPR/MPR RI) yang
sebelumnya dikuasai bergantian oleh kelompok-kelompok massa yang ada, Heru
berhasil memimpin massa dari semua kelompok massa untuk bersama-sama melakukan
Yell Reformasi, dimana untuk pertama kalinya seluruh kelompok massa akhirnya
terikat dalam sebuah aksi secara bersama-sama, yang berlanjut sampai akhir
aksi.
Malam harinya, dalam rapat
koordinasi struktur, terdengar kabar bahwa besok akan ada demonstrasi akbar di
Lapangan Monas yang dipimpin oleh Amien Rais. Rapat pun memanas dengan desakan
agar seluruh massa segera menggabungkan diri dengan demonstrasi tersebut. Tapi
perdebatan pun berhasil diakhiri dengan komitmen untuk tetap di gedung DPR/MPR
RI dengan argumen bila terjadi apa-apa dengan rencana demonstrasi yang relatif
riskan tersebut, akumulasi massa di gedung DPR/MPR RI bisa menjadi pertahanan
terakhir dalam menjaga momentum reformasi ini. Rapat koordinasi ini pun
berhasil menyepakati mekanisme dan kontribusi masing-masing kelompok massa
dalam langkah pengamanan aksi dan prosedur pengungsian massa bila terjadi
penyerbuan.
Rapat pun menyepakati sebuah langkah
keras untuk melakukan prosesi sidang rakyat yang diformat seolah-olah sebagai
parlemen alternatif, dengan menggunakan ruang sidang paripurna DPR/MPR RI
sebagai tempat sidang.
Mulanya, ruang sidang paripurna
diusulkan untuk didobrak tanpa persetujuan sekretariat atau pimpinan DPR/MPR
RI. Tapi kemudian, dengan niat menghindarkan aksi dari citra anarkis, rapat
koordinasi menyepakati bahwa usaha penggunaan ruang sidang paripurna akan
dimulai dengan koordinasi damai antara koordinator jenderal dengan sekretariat
DPR/MPR RI. Dan bila ditolak, baru kemudian dilakukan usaha pendobrakan secara
paksa terhadap ruang sidang.
Bagaimanapun, malam tanggal 19 Mei
1998 berakhir tenang, walau sempat terjadi sedikit kekacauan ketika mendadak
ada teriakan penyerbuan (menandakan tentara menyerbu) yang sempat menggegerkan
seluruh massa yang ada di gedung DPR/MPR RI (massa sempat berlari
tunggang-langgang kesana kemari), sebelum akhirnya ditenangkan dengan
penjelasan bahwa teriakan tersebut merupakan informasi yang salah.
Rabu, 20 Mei
1998
Sebagaimana amanat rapat di malam
sebelumnya, Heru bersama Ahmad (salah satu tim aksi) pun menemui personel
sekretariat DPR/MPR RI. Tidak berani memutuskan untuk memberi izin penggunaan
ruang sidang paripurna, personel sekretariat ini pun mengantarkan Heru dan tim
untuk menemui Syarwan Hamid, Wakil Ketua DPR/MPR RI saat itu. Ketika mendengar
rencana prosesi itu, Syarwan Hamid hanya berkomentar bahwa sebaiknya prosesi
itu ditunda karena hari itu (20 Mei 1998), Soeharto akan segera mengumumkan
pengunduran dirinya. Kaget mendengar berita tersebut, akhirnya diputuskan bahwa
untuk sementara waktu prosesi ditunda sambil menunggu kebenaran informasi
tersebut.
Pada tanggal 20 Mei tersebut, aksi
berjalan meriah. Banyak tokoh nasional yang hadir di gedung DPR/MPR RI dan
bergiliran memberikan orasi ke massa. Kesemarakan ini pun makin besar, apalagi
setelah dipastikan, demonstrasi di lapangan Monas dibatalkan. Di saat yang
sama, koordinasi kembali kacau. Sebagai contoh, sekelompok mahasiswa tanpa
koordinasi merobek-robek kertas (disinyalemen kertas tersebut arsip sekretariat
DPR/MPR RI) dan melemparkannya ke arah massa. Sementara, di lain sisi, ratusan
mahasiswa mulai duduk-duduk dan berdiri di atas kubah gedung paripurna DPR/MPR
RI. Beberapa wartawan sempat memperingatkan stuktur kubah yang rapuh, dan rapat
koordinasi pun sebetulnya sempat memutuskan untuk melarang mahasiswa menaiki
kubah tersebut. Tapi, setelah mencoba memperingatkan mahasiswa-mahasiswa yang
ada di atas kubah tanpa hasil, akhirnya diputuskan membiarkan penggunaan kubah
dengan menunjuk penanggung jawab yang menjaga kemungkinan terburuk. Puncak
kekacauan, adalah perebutan diri koordinator jenderal di antara
kelompok-kelompok massa yang hadir kemudian.
Di lain sisi, sampai sore tetap
tidak ada tanda-tanda bahwa Soeharto akan mengundurkan diri dari jabatan
presiden. Akibatnya, rapat koordinasi mempertanyakan kebenaran informasi yang
diterima oleh Heru, apalagi untuk alasan itu rencana prosesi sidang rakyat
ditunda. Akhirnya diputuskan untuk menunggu sampai besok, bila belum ada
tanda-tanda pengunduran diri Soeharto, maka prosesi sidang rakyat dan
penggunaan ruang sidang paripurna akan dilaksanakan, dengan cara damai atau
paksa.
Malam harinya, suasana kembali
tenang. Selain sempat diidentifikasi sekelompok prajurit nontentara jaga
DPR/MPR RI mengendap-endap dan seorang perwira di kawal 2 prajurit membangunkan
para tentara jaga (termasuk komandan pengamanan gedung DPR/MPR RI yang tampak
tergopoh-gopoh segera melapor pada perwira ini), pada umumnya malam bisa
berjalan tenang.
Kamis, 21
Mei 1998
Pagi itu, kelihatannya beberapa
kelompok massa ada yang sudah pulang, sehingga massa di gedung DPR/MPR RI
relatif lebih sedikit. Penanggung jawab yang ditunjuk untuk mempersiapkan
prosesi sidang rakyat tampak mulai mengumpulkan orang untuk persiapan, sebelum
kemudian beberapa wartawan tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa akan ada pengumuman
penting dari istana negara. Akhirnya, pagi itu Soeharto mengumumkan pengunduran
dirinya. Sesuai komitmen awal FKSMJ saat memulai aksi, maka pengunduran diri
Soeharto adalah tanda berakhirnya aksi. Oleh karenanya, beberapa saat setelah
pengumuman pengunduran diri Soeharto, Heru pun mengumumkan berakhirnya aksi
pendudukan gedung DPR/MPR RI sekaligus mengumumkan bahwa aksi pendudukan
berubah menjadi pesta rakyat.
Setelah pengumuman pengakhiran aksi,
terjadi perdebatan di antara struktur operasi yang dibuat untuk mengawal proses
pendudukan ini. Umumnya anggota struktur merasa bahwa aksi seharusnya belum
berakhir, dengan argumen Habibie pengganti Soeharto belum jelas komitmen
reformasinya. Di ujung perdebatan, Heru menegaskan tidak akan bergabung dalam
aksi lanjutan dan mempersilahkan rapat memilih koordinator jenderal baru.
Akhirnya, rapat memilih Ahmad dari Universitas Padjadjaran (Unpad) untuk
menjadi koordinator jenderal dan mengubah struktur operasi menjadi sebuah
kelompok massa resmi. Malamnya, massa yang tergabung dengan FKSMJ sebagian
besar memutuskan pulang.
Meski salah satu agenda perjuangan
mahasiswa yaitu menuntut lengsernya sang Presiden tercapai, namun banyak yang
menilai agenda reformasi belum tercapai atau malah gagal. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 juga
mencuatkan tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang Pahlawan Reformasi. Pasca Soeharto mundur,
nyatanya masih terjadi kekerasan terhadap rakyat dan mahasiswa, yang antara
lain mengakibatkan tragedi Semanggi yang
berlangsung hingga dua kali. Gerakan
Mahasiswa Indonesia 1998 juga memulai babak baru dalam kehidupan bangsa
Indonesia, yaitu era Reformasi.
Tragedi
Trisakti
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12
Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari
jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di
Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia
Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas
tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti
kepala, leher, dan dada. Ekonomi
Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial
Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR,
termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari
kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka
dihambat oleh blokade dari Polri--militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa
mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada pukul 17.15 para
mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat
keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik
dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun
aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan
dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di
lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9,
Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri
202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi
dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat
orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun
pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi
menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
Peta situasi
Trisakti pada 12 Mei, 1998
10.30 -10.45
Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang
bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai
dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen,
pejabat fakultas dan universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang
di depan mimbar.
10.45-11.00
Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara
penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang
dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas, kemudian dilanjutkan
mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa
dan rakyat Indonesia sekarang ini.
11.00-12.25
Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para
pembicara baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus
berjalan dengan baik dan lancar.
12.25-12.30
Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran
beberapa anggota aparat keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan
layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan
menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu
gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
12.30-12.40
Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis
barisan depan pintu gerbang) dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta
memberikan himbauan untuk tetap tertib pada saat turun ke jalan.
12.40-12.50
Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar
secara perlahan menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
12.50-13.00
Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu
masuk kantor Walikota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan
tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan.
13.00-13.20
Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara
beberapa wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan
negoisasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A
Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa
terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan
tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah
kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
13.20-13.30
Tim negoisasi kembali dan menjelaskan hasil negoisasi
di mana long march tidak diperbolehkan dengan alasan oleh kemungkinan
terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa
kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Massa terus
mendesak untuk maju. Dilain pihak pada saat yang hampir bersamaan datang
tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
13.30-14.00
Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan
di jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota
Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara
rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu
pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
14.00-16.45
Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim
dan Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara
mimbar terus berjalan dengan diselingi pula teriakan yel-yel maupun
nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa tetap tak bergeming. Yang terjadi
akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai
berkurang dan menuju ke kampus.
Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak
sekitar 15 meter dari garis tersebut.
16.45-16.55
Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana
hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya
massa menolak tapi setelah dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi
Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
16.55-17.00
Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan
mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan
tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih
dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres
menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian
membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan
turun dengan deras.
Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian
pula aparat. Namun tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku
sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata
kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena
oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar.
17.00-17.05
Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan
aparat sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan
ketegangan antara aparat dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua
SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk
mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus
mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing
baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
17.05-18.30
Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam
kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta
mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa
kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud
menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung
menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga
massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut
terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata
dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan
dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk
Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua
peluru karet dipinggang sebelah kanan.
Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan
rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus
dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya
sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa
mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi
tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan
melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat
yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa
yang berlarian di dalam kampus.
Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan
merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok
dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan
tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun
meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan
satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara
korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Yang luka
tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata
juga dilemparkan ke dalam kampus.
18.30-19.00
Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan
mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa
tempat yang berbeda-beda menuju RS.
19.00-19.30
Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada
beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper
(penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali
ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa
aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
19.30-20.00
Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai
berani untuk keluar adari ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk
diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi
antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa
dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi
sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
20.00-23.25
Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat
rekannya yang jatuh korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang. Yang luka-luka
berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan
universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi
01.30
Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin
di Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI
Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Usakti Prof Dr
Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W
Soeharto.
sumber: Siaran Pers Senat Mahasiswa Trisakti dan Arsip
berita Kompas 13 Mei 1998
Tragedi
Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua
kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang
mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi
Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi
Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal
dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan
tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta
menyebabkan 217 korban luka - luka.
Pada bulan November 1998
pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan
Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J.
Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga
mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan
pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak
Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang
diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap
hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari
seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan
universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan
untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa
mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena
mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Pada tanggal 11 November 1998,
mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan
Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
Pada tanggal 12 November 1998
ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari
segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus
ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga
Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan
mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl.
Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke
Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk
rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya Jumat tanggal 13
November 1998 mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah
Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus
Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak
malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna
menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat
dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan
kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang
bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan
lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri,
sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan
membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu
juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah
satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia
yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus
Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan sekaligus
masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang
nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas
Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong
rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya,
Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus
terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke
dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal
tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin
bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat
dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17
orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru
Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil
Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono,
Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim
Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang
mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang
anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4
orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban
mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan
benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar,
wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar
belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun,
terkena peluru nyasar di kepala.
Tragedi
Semanggi II
Pada 24 September 1999, untuk yang
kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan
Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut
banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan
keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa
bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU
PKB. Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak
di depan Universitas Atma Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar