Supremasi
hukum di Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan
masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih
banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan
harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Keadaan yang sebaliknya terjadi di
Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa
terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan
sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Ini kan tidak adil. Salah satu bukti
adanya ketidak adilan pada nasyarakat Indonesia adalah kasus pencurian kakao
oleh seorang nenek asal Banyumas.
Kasus Nenek Minah asal Banyumas
yang divonis 1,5 bulan kurungan adalah salah satu contoh ketidakadilan hukum di
Indonesia.
Sang nenek hanya pasrah dan yang lebih menyedihkan lagi hadirin yang hadir
bertepuk tangan atas keputusan itu.
Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah milik sebuah
perusahaan perkebunan kakao, tahu dan tidak ridha Sang Nenek mengembalikan buah
itu dan telah meminta maaf. Tapi, ironisnya sang pemilik buah tetap saja
menuntut ke Pengadilan. Perkebunan kakao itu beralasan untuk memberi efek jera.. Memang benar bahwa pencurian itu tindakan yang tidak baik,
melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi hukum juga tidak boleh
buta akan rasa kemanusiaan terhadap vonis yang akan diberikan kepada si
pencuri. Wanita yang sudah tua dan buta huruf tersebut harus dihukum hanya
karena ketidaktahuannya terhadap hukum.
Untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek
Minah harus meminjam uang Rp.30.000,00 untuk biaya transportasi dari rumah ke
pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja bisa
menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya
transportasi. Akan tetapi lihat saja fakta yang terjadi pada seorang pejabat
yang terkena kasus hukum seperti korupsi mungkin banyak yang menghindar dari
panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat. Tidak malukah
mereka (para pejabat) dengan Nenek Minah?. Pantaskah Nenek Minah dihukum hanya
karena mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari Rp.10.000,00
?. Dimana prinsip kemanusiaan itu?. Adilkah ini bagi seorang nenek bernama Minah yang miskin dan tua ini?.
Bagaimana dengan koruptor kelas
kakap yang bersenang-senang dengan uang rakyat?. Inilah sebenarnya yang menjadi
ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia. Begitu sulitnya menjerat mereka
dengan tuntutan hukum. Apakah karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan,
dan punya banyak uang ?, sehingga bisa mengalahkan hukum dan hukum tidak
berlaku bagi mereka para koruptor. Bahkan kalaupun sudah diyakini bersalah
dan berada dalam tahanan, maka dengan uang pula mereka bisa tetap bebas merdeka
dalam ruang tahanan, seperti Artalyta
Sangat mudah menjerat hukum terhadap
Nenek Minah. Namun demikian sangat sulit dan sangat berbelit-belit begitu akan
menjerat para koruptor dan pejabat yang tersandung masalah hukum di negeri ini.
Saya sendiri tidak menganggap benar tindakan pencurian oleh Nenek Minah dan
mereka yang mempunyai kasus seperti Nenek Minah. Saya juga tidak mempunyai
maksud membela perbuatan yang dilakukan oleh Nenek Minah dan mereka. Tetapi
saya hanya mempertanyakan dimana letak keadilan itu? Dimana prinsip kemanusian itu?.
Seharusnya para penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya
menjalankan hukum secara formal atau secara struktural saja.
Inilah keadaan hukum di Indonesia, yang menang adalah yang
mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan.
Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang
biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan
pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan
seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat
berkeliaran dengan bebasnya kemana pun mereka mau.
Dari kisah tersebut dapat kita ambil pelajaran sebagai berikut :
Dari kisah tersebut dapat kita ambil pelajaran sebagai berikut :
1. Sang nenek sudah tidak ada
disalahkan karena ia sudah mengembalikan buah yang dicuri dan ia telah minta
maaf atas kesalahan yang ia perbuat.
2. Pemilik kakao tidak mempunyai rasa kasih sayang, rasa iba, dan kikir. Senang melihat orang susah. Dan ini tidak sesuai dengan nilai moral Pancasila yakni nilai pada sila kedua.
3. Polisi sepatutnya mengambil langkah bijaksana. Hendaknya memberikan solusi damai. Hendaknya solusinya memperhatikan nilai-nilai pancasila agar terciptanya suatu kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kepada Hakim dan Jaksa berikanlah hukum yang sepantasnya secara professional dengan memandang adanya nilai kemanusiaan dan keadilan, tidak hanya secara struktural saja.
2. Pemilik kakao tidak mempunyai rasa kasih sayang, rasa iba, dan kikir. Senang melihat orang susah. Dan ini tidak sesuai dengan nilai moral Pancasila yakni nilai pada sila kedua.
3. Polisi sepatutnya mengambil langkah bijaksana. Hendaknya memberikan solusi damai. Hendaknya solusinya memperhatikan nilai-nilai pancasila agar terciptanya suatu kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kepada Hakim dan Jaksa berikanlah hukum yang sepantasnya secara professional dengan memandang adanya nilai kemanusiaan dan keadilan, tidak hanya secara struktural saja.
Oleh
karena itu perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif
mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan
melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku
masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan dan keadilan pada Pancasila sebagai
dasar negara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar